Tuesday, February 15

SEKILAS TENTANG TARI KLASIK GAYA SURAKARTA


Oleh: Sriyadi
Staf Pengajar Jurusan Tari STSI Serakarta

Abstrak
Tari klasik gaya Surakarta memiliki karakter yang khas, tari klasik semula meniru gerak alam semesta dan pertanda seperti mbanyu mili (sesuai dengan letak arah mengalirnya), posisi gerak tari seperti tanjak ndoran tinangi, angranakung, singkal, mager timun. Pada susunan kembangan sekaran) tari terdapat nama ngranggeh lung, merak kesimpir, gajah ngoling, menthokan, mucang kanginan, banteng nggambul. ombak banyu, ngalap sari. Berbagai gerak alam di stilir menjadi ragam gerak tari yang dilakukan oleh tubuh. Dasar gerak tari klasik gaya Surakarta berpegang pada dua aspek yaitu adeg dan solah. Untuk mencapai tingkat gerak yang berkualitas (estetik) diperlukan suatu metode latihan tari yang efektif, di dalam istilah tari gaya Surakarta disebut Rantaya yang meliputi pola dasar adeg, pola dasar lumaksana, susunan kembangan atau sekaran. Filosofi tari klasik gaya Surakarta adalan menggunakan konsep Dewa Raja Jejer, sedang mitosnya adalah kiblat papat lima pancer.

Kata Kunci: Klasik, Ragam gerak, Filosofi, Mitologi

A. Pendahuluan
Tari Klasik gaya Surakarta merupakan tari Istana yang telah lama sejak jaman kerajaan Majapahit. Istilah klasik berasal dari kata latin classici, nama golongan masyarakat tingkat tinggi pada jaman Romawi kuno (Soedarsono, 1990; 6). Dalam Bahasa Belanda diterjemahkan secara umum klasik berarti bagus sekali atau dari kelas tinggi (Singgih, dalam kamus Indonesia Belanda. 1989: 40). Kata klasik dalam masyarakat

Jawa sering digunakan untuk menyebut kesenian istana Jawa, sering disebut seni klasik...
Kata klasik menunjukkan pengertian bukan saja sifat tua melainkan sifat mapan dari bentuk-bentuk kesenian yang sudah mencapai bentuk ideal. Kata klasik dalam masyarakat Jawa juga diidentikkan dengan kata adiluhung. Adiluhung berasal dari kata adi yang berarti bagus, utama indah, dan kata luhung yang berarti agung, hebat. Kata adiluhung sering digunakan untuk menggambarkan bentuk-bentuk kesenian tradisional dari kranton Jawa (Linsay, 1991: 46). Berdasarkan tiga pengertian kata klasik maka dikenal tari klasik yaitu untuk menyebut khususnya produk tari istana Surakarta yang diciptakan dan di pergelarkan menurut aturan-aturan yang telah ditetapkan. Aturan bersifat mengikat dengan secermat-cermatnya menentukan bagian masing-masing dalam gerak serasi dengan alunan iringan gamelan Jawa yang berlaras slendra dan pelog. Tari produk Istana dilakukon dengan aturan-aturan tertentu yang ketat dalam menggerakkan bagian-bagian anggota tubuh.
Tari Klasik yang kemudian muncul berkembang menjadi tari klasik yang mengandung sifat tertentu dan kemudian disebut gaya. Diantara gaya yang ada, gaya Surakarta, gaya Yogyakarta relatif terkenal dibandingkan dengan gaya-gaya daerah lain. Gaya Surakarta sendiri terdapat dua kelompok gaya yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Diantara tari klasik gaya Surakarta yang terkenal yaitu Tari Bedhaya Ketawang, Tari Srimpi, Tari Wireng. Untuk tari Bedhaya Ketawang sampai sekarang dianggap tarian sakral.
Tari Bedhaya Ketawang dahulu ditarikan oleh sembilan wanita sekarang dapat ditarikan oleh tujuh penari wanita. Dalam penampilan Tari Bedhaya para penari harus bersih secara fisik maupun mentalnya. Sebagai contoh jika salah seorang penari sedang mengalami mens dia harus berhenti dan diganti oleh penari yang lain. Tari Bedhaya Ketawang ini hanya di lakukan/ ditarikan pada hari dan bulan tertentu, misalnya bulan Syuro hari anggorokasih. dalam kalender Jawa muncul tiap 35 hari, dan juga pada saat Jumenengan Raja. Masalahnya adalah bagaimana dasar dari gerak tari, ragam gerak, filosofi dan mitologi tari klasik gaya Surakarta. Selanjutnya menjadi kafa kunci yang harus dijelaskan.


B. Dasar-dasar Gerak Tari Klasik Gaya Surakarta.

1.Rantaya
Dasar gerak tari klasik gaya Surakarta terbagi dalam dua bagian, yaitu solah dan adeg. Dasar solah dibagi menjadi empat tingkatan, yang biasa disebut Rantaya. Rantaya adalah pola dasar menari Jawa gaya Surakarta.

Rantaya I : Pola dasar Adeg.
Pola gerak dari bagian yang paling kecil adalah tanjak, ingsetan,kengseran dan gerak sendi. Tanjak adalah pola dasar gerak berdiri dalam tari klasik, ingsetan adalah pola dasar gerak berdiri yang digunakan untuk peratihan gerak yang menggunakan tumpuan gerak kaki, gerak tersebut disertai gerak bagian-bagian tubuh lainnya secara bersamaan. Sendi adalah pola susunan gerak tari untuk peralihan. Pola-pola ini digunakan untuk mendasari calon penari, agar paha dan boyok penari menjadi kuat (2002:32).

Rantaya II: Pola Dasar Lumaksana
Lumaksana artinya berjalan. Rantaya II berisi pola dan ragam berjalan. Rantaya II ini digunakan untuk melatih penari yang sudah menguasai dasar tanjak yang benar dan ini merupakan kelanjutan dari rantaya I yang sederhana menuju yang lebih rumit. Latihan rantaya II untuk melatih keseimbangan dan cara meletakkan posisi tubuh yang benar bagi penari agar gerak yang dikehendaki bisa tercapai dengan baik, dan agar lintasan terutama lintasan kaki atau tungkai menjadi kuat dan keseimbanganya bagus, sehingga didalam menampilkan gerak yang dikehendaki menjadi bagus (2002:57).

Rantoyo III: Susunan Kembangan atau Sekaran
Kembangan atau sekaran artinya bunga. Sekaran artinya bunga-bung yaitu rangkaian gerak kecil-kecil menjadi suatu susunan (vokabuler), biasanya satu sekaran terdiri dari tiga kali susunan gerak berulang, lalu satu ragam penutup dan disambung dengan gerak-gerak berikutnya (2002: 78)
Gerak sekaran selalu dimulai dan diakhiri dengan sendi yang berfungsi sebagai engsel, sekat atau penghubung. Contohnya gerak sabetan, gerak besut, untuk tari alus dan gagah sedang untuk tari putri seperti sindet, sabetan, srisig juga sebagai gerak penghubung.

Rantaya IV : Beksan Ragam
Beksan ragam artinya suatu kumpulan sekaran yang dibentuk menjadi satu tarian sehingga menjadi bentuk susunan tari yang serasi, juga ada peran tokoh-tokohnya, tetapi yang penting dalam hal ini adalah merupakan kumpulan sekaran-sekaran yang ditata secara urut dan runtut terutama yang berkaitan dengan 'seleh" gerak pada musik tari (karawitan). Tari berupa beksan ragam tersebut misalnya beksan Wira Pratama, Langen Mandra Asmara, Gambyong, dan sebagainya.
Wira pratama dan Mandra asmara terdiri dari empat penari wanita berbeda-beda karakternya. Gambyong digunakan untuk melatih ragam-ragam kibar dan ciblonan karena ragam kibar dan ciblonan dipakai dalam beberapa jenis susunan tari khususnya dalam tari Jawa. Contohnya seperti tari Gambiranom, tari Minak Koncar, tari Karonsih, tari Gatutkaca gandrung.

2. Sikap Dasar Adeg
Sikap dasar adeg adalah cara atau pedoman untuk menentukan posisi tubuh dan cara menggerakkan sekmen-sekmen anggota tubuh agar leluasa dan enak untuk melakukan gerak dalam tari. Mestinya adeg ini dibicarakan sebelum rantaya, berhubungan dengan adeg ini hanya dapat dilakukan apabila si penari menguasai gerakan, maka adeg dibicarakan setelah rantaya.
Sikap dasar adeg tari kraton Kasunanan Surakarta terdiri dari 6 titik daya yaitu dlamakan, boyok (cetik ), buthung, pundak kiri kanan.dan cengel (kepala bagian belakang). Sikap adeg tari Mangkunegaran juga terdiri dari enam titik daya yang meliputi: dlamakan, puser, jaja, entong-entong kiri kanan, dan bathuk. Bagi Kasunanan titik kunci daya terdapat pada tubuh bagian belakang, sedangkan di Mangkunegaran titik daya terletak pada tubuh bagian depan. Bagi penari sikap adeg gaya Kasunanan dan Manakunegaran sekalipun menggunakan gerak yang sama tetapi melahirkan ekpresi gerak yang berbeda. Bagi tari di Kasunanan titik kendalinya terdapat pada boyok atau cethik, tepatnya terletak pada tulang belakang pada ruas ke-4 dari bawah. Titik ini dalam istilah yoga disebut titik kundalini. sedangkan sikap adeg di Mangkunegaran puser adalah kendali dari titik-titik yang lain dan bathuk sebagai pemancarnya, yaitu di antara kedua alis untuk memancarkan daya tersebut.
Sikap adeg pola berdiri (tanjak) dalam tari Jawa adalah posisi kaki merenggang dan dibuka, lutut dibuka, tungkai merendah (mendhak/ mendhek), dada dibuka, pantat ditarik keatas (buka ke belakang) dagu ditarik ke belakang ibu jari kaki ke atas, jari tangan nyekiting, dada mungal. Sikap ini melahirkan tubuh yang ditenggalkan, yang akan melahirkan gaya.
Perbedaan pola dasar berdiri dan sikap bergerak antara Kasunanan dan Mangkunegaran, karena bentuk dadanya yang berpengaruh pada pola dasar berdiri yaitu tungkai sebagai tumpuan segaris dengan ula-ula, yang ditarik tegak dari bawah ke atas ini untuk Kasunanan sedangkan untuk Mangkunegaran garis tubuh pada posisi tungkak kaki sebagai tumpuan garis dengan badan yang ditarik garis ke atas pada posisi miring. Oleh sebab itu ruang gerak tari di Kasunanan Surakarta lebih sempit dibandingkan ruang gerak dari Mangkunegaran. Oleh karenanya dapat menimbulkan kesan bahwa tari Kasunanan Surakarta terasa lebih lembut dan berwibawa, sedangkan tari di Mangkunegaran gerak terasa lebih cakrak.

3. Solah Tari Jawa gaya Surakarta.
Solah artinya pelaksanaan gerak, bahwa dalam konsep tari Jawa gerak tidak selalu diartikan sebagai peralihan dari posisi satu menuju posisi yang lain, tetap; diam pada posisi menari juga termasuk gerak. Dalam konsep tari Jawa dikenal gerak yang kasat mata dan gerak yang tan kasat mata tetapi jukup jelas untuk dirasakan. Gerak yang ada didalam tubuh secara alami sekalipun tan kasat mata (tidak tampak) juga diperhitungkan, misalnya gerak jatung, aliran darah, paru-paru dan pernapasan juga menimbulkan efek gerak yang tak kelihatan.
Konsep dasar solah pada tari Jawa adalah meniru gerak air yang mengalir atau disebut mbanyu mili. Mbanyu mili artinya gerak air yang sedang mengalir, jadi geraknya tidak putus-putus (patah-patah). Ada beberapa kategori gerak air sesuai letak dan keadaannya misalnya air bengawan kondisinya waktu banjir airnya besar, air pegunungan kondisinya gemericik, air dalam jun (gentong) yang tenang, dan air laut yang menerjang batu karang di pantai menimbulkan benturan yang dahsyat.
Dari beberapa konsep itu kemudian digambarkan dalam tiga bagian inti yaitu midak, nujah, dan nggandul. Hal ini sangat berkaitan dengan karakter (wanda) den peristiwa dalam lakon yang dimainkan. Midak adalah peleksanaan seleh gerak sejajar dengan seleh dong-dhing pada musik, karawitan. Nujah ialah peleksanaan gerak tari dimana seleh gerak mendahuluhi seleh irama karawitan, sehingga kasan yang ditimbulkan kelihatan tergesa-gesa (kemrungsung). Gerak terakhir adalah nggandul yaitu seleh gerak di belakang atau setelah seleh pada irama karawitan (setelah gong berbunyi). Bila penari tidak tepat meletakan seleh nggandul akan terkesan nglawer atau terlambat.
Solah didalam pelaksanan gerak tari Jawa menggunakan teknik-teknik gerak yang rumit, detail dengan posisi garis lengkung-lengkung. Hal ini dipengaruhi oleh konsep-konsep India yang selalu menggunakan garis lengkurg-lengkung. Misalnya seperti gerak modra, gerak tangan ngrayung, gerak tangan ngiting dan lain sebagainya.

C. Ragam Gerak dan Simbolisme Dalam Tari Jawa Surakarta
1. Gerak
Ragam gerak tari Jawa gaya Surakarta cenderung berorentasi pada alam dan pertanian baik nama posisi gerak tari maupun nama sekaran misalnya posisi tanjak ndorantinangi, anmgranangkung dan singkal mager timun. Pada sekaran tari ada nama-nama nggrageh lung, merak kasimpir, gajah ngoling, menthokan, mucang kanginan, manteng gambol, ombak banyu, ngalap sari, dan sebagainya. Beberapa gerak alam yang disetilir menjadi ragam ada yang sifatnya gerak alam yang diambil esensinya, misalnya: mucang kanginan, dan merak kasimpir.
Sekalipun bentuknya adalah peniruan terhadap alam tetapi yang lebih penting, penari harus mengerti dan mampu menafsirkan esensi dari benda-benda alam tersebut lalu ditranformasikan dalam bentuk ragam gerak tari, lalu dihidukan dalam dirinya menjadi greget yang menimbulkan rangsangan magnit pada penonton (K.R.T. Tondokusumo S. Maridi, wawancara 12 januari 2002 ). Bila penari tidak mengenali sifat-sifat gerak atau esensi benda alami tersebut penari akan kesulitan memberi muatan nilai estetis yang sesuai dengan tututan tradisi dalam tari Jawa gaya surakarta pada umumnya.
2. Gandar dan Karakter
Gandar ialah dedeg-piadeg penari atau postur tubuh penari sesuai dengan wanda peran atau perwatakan peran tari Jawa yang akan dibawakan. Gandar dalam tari Jawa berorentasi pada wanda wayang purwa misalnya: putri luruh, contohnya wayang Sembadra, Sinta, putri alus layap contohnya Srikadhi, Mustakaweni, Larassati, Putra alus luruh, Harjuna, Abimanyu, putra alus lanyap seperti Kresna, Samba, Adipatikarna, dan lain sebagainya.
Gandar selain dilihat dari idealisme tubuh penari (mungguh), juga diperhitungkan guwaya dan pasemonnya. Istilah dalam tari Jawa duwe urup (punya api) yang hidup sekalipun tidak dalam saat menari. Gandar adalah ukuran ideal berdasarkan tokoh wayang purwa yang digunakan untuk menentukan dapukan atau pilihan jenis spesialisasi tari yang akan dipelajari atau yang akan di bawakan. Seperti; badan langsing kulit bersih (kuning) tidak suka tertawa, akan lebih tepat menjadi Harjuna, badan langsing kulit bersih dan lincah pandai berbicara ia akan lebih tepat bila dijadikan Srikandhi, badan kekar tinggi besar orangnya lincah dan suka berkelakar akan lebih tepat penari jenis agal prengesan seperti Burisrawa, Dursasana.
Tari Jawa dibagi dalam tiga karakter pokok yaitu putri, putra alus/halus, dan putra agal /gagah. Karakter putri dibagi dalam tiga wilayah yaitu putri luruh (Sembadra, Sinta ) putri lanyap (Srikandhi, Larassati, Mustakaweni), dan putri dagel seperti Raseksi, Cangik). Karakter alus dibagi empat bagian yaitu alus luruh (Harjuna, Rama, Abimanyu) alus lanyap ( Samba, Karana, Kresna ), alus dagel (Lasmana Mandra Kumara), dan alus mandya taya. Madya taya mestinya berdiri sendiri tetapi dalam karakterisi dimasukan dalam kelompok alus (Duryudana- Salya, Mahesa Wongateleng).
Putra agal/gagah dibagi dalam beberapa bagian yaitu gagah antep, gagah ampang, dan bapangan. Gagah antep dibagi dua yaitu kalang-kinantang seperti (Gatutkaca, Dasamuka) dan kambengan antep seperti (Bima., Antarja, Setiyaki), gagah ampang dibagi dua yaitu bapang kasatriyan biasa untuk raksasa satria (Cakil) dan raksasa kecil (Buta glundung) dan bapang jeglong digunakan untuk karakter raksasa besar yang tidak menggunakan jungkir balik seperti Kumbakarna, Newatakawaca. Selain tiga karakter pokok masih ada karakter tambahan seperti Dewa, Panakawan dan Setanan. Karakter tersebut diatas disesuaikan dengan wanda para wayang purwa.
Jenis tari Gaya Surakarta terdiri dari beberapc jenis tarian misalnya seperti tari: Golek, Gambyongan, Gandrungan, Pasihan, Wireng, Srimpi, Bedaya, Beksan (tari tunggal), dan garapan (sendratari langendriyan, wayang wong dan wayang topeng). Golek termasuk jenis tari untuk tari anak-anak atau pemula. Gambyong jenis tari remaja dan menjadi dasar gerak tari suka ria. Gandrungan jenis tari percintaan tunggal seperti Gatutkaca Gandrung, Pasihan jenis percintaan berpasangan seperti karonsih dan enggar-enggar. Wireng jenis tarian perangan atau kesatiyaan seperti Bugis Kembar, watang, srimpi dan Bedaya merupakan jenis khusus tari kraton.

3. Simbolisme dalam tari Jawa
Tari Jawa Gaya Surakarta merupakan salah satu bentuk budaya yang bersumber dari kraton yang di latar belakangi oleh konsep kenegaraan Dewa Raja. Bila ditilik lebih dalam, pelaksanaan perjalanan tari-tari Kraton penuh dengan simbol-simbol, dari wujud kelengkapan, sesaji, tempat pergelaran, gerak tari, hingga jumlah penarinya. Kesemuanya berkaitan atau memiliki makna simbol. Menurut Van Peursen tentang simbol mengatakan:

Simbol bagi manusia merupakan pengejawantahan dari belajar manusia. Dengan simbol-simbol manusia dapat menemukan arah perbuatannya dan memberikan keterangan-keterangan tentang pergetahuan dunia. Proses belajar manusia dilakukan melalui bahasa, dalam arti luas bahasa adalah alat komunikasi yang bersifat arbriter/mana suka atau segala bentuk lambang seperti kata, gambar, isyarat, gerak atau tari-tarian (Peursen. 1976...)

Ahli filsafat, Ernst Cassirer, mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum, binatang yang mengenal simbol. Secara biologis manusia termasuk jenis binatang menyusui (mamalia), meskipun demikian manusia berbeda dengan binatang karena kemampuannya melakukan simbolisasi. Manusia adalah makhluk yang mampu menggunakan, mengembangkan, menciptakan, lambang-lambang untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Melalui lambang-lambang pula manusia menanggapi lingkungannya (Ahimsa, 2002:2). Kebudayaan Jawa banyak mengenal simbol-simbol yang diwujudkan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah melalui seni tari. Pada jaman Hindu tari-tarian yang ada dipercaya sebagai ciptaan dewa yaitu dewa Shiva. Pengaruh ini sangat besar dalam kehidupan seni di kraton-kraton Jawa, mulai dari perangkat peribadatan sampai pada tari klasiknya (Sedyawati, 1997:163).
Salah satu contohnya adalah Tari Bedaya yang hidup di lingkungan kraton mempunyai beberapa fungsi yang penting terkait dengan upacara kebesaran raja, upacara penobatan raja dan upacara resmi kerajaan. Tari Bedaya dianggap memiliki nilai sakral, gaib dan dianggap sebagai pusaka kerajaan yang adhi luhung. Tari Bedaya di lingkungan kraton sifatnya tertutup, artinya bahwa tari Bedaya hanya bisa dipergelarkan di lingkungan kreton dan hanya untuk kepentingan-kepentingan kraton, pengertian ini mengandung maksud bahwa dengan nilai simbolik (sakral) tari bedaya tidak boleh di pentaskdn atau di pelajari oleh masyarakat umum di luar kraton.

D. Dasar Filosofi dan Mitologi Tari Jawa Surakarta.
Para empu tari Kasunanan seperti K.R.T. Tondokusumo sering menyebutkan "Tari Jawa iku Raja Dewa jejer, utawa Ratu jejer (Tari Jawa itu Raja Dewa sifatnya, atau Raja diwisuda atau raja duduk di singgasana). Raja Dewa artinya raja yang berperan sebagai Dewa yang memiliki sifat wingit (angker). Sedangkan Ratu jejer memiliki sifat agung berwibawa. Jadi tari Jawa itu harus memiliki ekpresi wingit atau agung berwibawa. Hal ini mendasari greget ekpresi yang hendak disajikan dalam berbagai jenis karakter tari.
Mitos yang menjadi dasar estetikik tari Jawa gaya Surakarta adalah Kiblat papat lima pancer yaitu segara kidul- parangtritis/ pantai selatan, (di selatan) eyang Merapi (di barat), Batari uma (di utara ), dan eyang lawu (di timur) dan tengahnya adalah kraton Surakarta. Oleh sebab itu sesaji tari terutama bedaya srimpi dan watangan srimataya (Palguna-palgurwidi dan harjuna Sasarabahu lawan Sumantri) selau ditujukan pada arah kiblat tersebut. Dari kiblat ini lalu direfleksikan dalam bentuk gawang prapatan, dan gawang tengah sebagai poros atau sumber yang berperan sebagai pancer (Mulyatno, wawancara 14-8-2003)
Mitos lain yang menojol adalah kedudukan Kanjeng Ratu Kidul atau Ratu Kencana Sari, yaitu sebagai ratu penguasa segara kidul (laut selatan) dan ratu penguasa segala "air mengalir" yaitu menuju dan berada di laut. Oleh sebab itu selatan menjadi posisi yang sangat kuat, bahkan di Mangkunegaran pendapanya menghadap ke selatan, penari kalau menari juga menghadap keselatan pula sehingga penari membelakangi Singgasana raja dan istana. Sebab kekuatan supranatural berada di sebelah selatan Ratu selatan diyakini sebagai Ratu penguasa segala air dan penguasa tari di Jawa "mbanyumili" maka sesaji dan laku penari diadakan persembahan padanya di pantai Parangkusuma. Bahkan raja Paku Buwana membuat panggung sangga buwana, salah satu fungsinya untuk berkomunikasi dengan Ratu kidul ini dilakukan sebelum tari ketawang dipentaskan.

E. Kesimpulan
Kaidah tari klasik Jawa gaya Surakarta terletak pada dua nilai yaitu nilai estetis dan nilai simbolis. Secara estetis posisi merendah dan bagian-bagian tubuh yang ditarik seperti jari kaki ke atas, jari nyleketing, dagu ditarik dan menepati aturan adeg, maka akan menimbulkan suatu "tegangan" atau getaran dalam tubuh penari yang akhirnya menimbulkan "daya" ekspresi. gerak-gerak lengkung mengaliri mbayu mili yang disetilir dari kenyataan alami memberikan rangsangan estetis, yang menjadikan penonton mengembangkan interpretasi, bermacam-macam. Muatan nilai simbolik yang menjadi "rangsangan” dinamika kehidupan masyarakat kolektifnya menjadi suatu kehidupan tersendiri sehingga tari menjadi hidup karena jiwa penonton yang hidup. Keindahan ini milik bersama, dibangun bersama dan atas kesepakatan bersama maka memiliki muatan simbolik yang bertolak dari norma-nonna kehidupan masyarakat Jawa kraton.
Hakekat Tari Jawa Surakarta adalah sebuah upacara ritual berdasarkan saling kait mengkait antara dasar adeg, dasar gerak dan keharusan menggunakan teknik tertentu dalam ikatan mitos tertentu, menurut pendapat penulis bahwa tari jawa gaya Surakarta adalah suatu upacara yang menggunakan seni tari sebagai medianya. Oleh sebab itu menarikan tari Jawa harus mengikuti aturan-aturan khusus yang berlaku. Berhubungan tari tersebut "upacara" maka perlu yang dikenai kewajiban-kewajiban atau keharusan-keharusan mengikuti masyrakat komunitasnya. Dalam hal ini komunitas keratonlah pemilik "upacara" tersebut. Sedangkan bagi masyarakat di luar keraton upacara tersebut berfungsi sebagai suatu kegiatan kesenian yang menitik beratkan pada hiburan bagi masyarakat.
Yang menjadi persoalan sekarang ialah bagaimana komunitas tari kraton tersebut setia terhadap keharusan dan kewajiban-kewajiban setelah SMKI dan STSI dan juga Taman Budaya juga menunjukan eksistensinya dengan menggunakan meteri yang sama tetapi orentasinya berbeda.
Dengan demikian hakekat tari klasik gaya surakarta adalah sebuah cara persembahan, pemujaan dan meditasi. Sedangkan fungsi tari jawa bagi masyarakat umum adalah sebuah hiburan atau tontonan. Letak keindahan tari Jawa gaya Surakarta terletak pada dua aspek nilai yaitu nilai estetis dan nilai simbolis. Secara estetis posisi merendah dan bagian-bagian tubuh yang ditarik seperti jari kaki ke atas, jari nyleketing, dagu ditarik akan menepati aturan adeg, maka akan menimbulkan suatu "tegangan" atau getaran dalam tubuh penari yang akhirnya menimbulkan "daya" ekspresi. Gerak-gerak lengkung mengalir mbanyu mili yang disetilir dari kenyataan alami memberikan rangsangan, yang menjadikan penonton mengembangkan interpretasi bermacam-mcam. Muatan nilai simbolis yang menjadi "rangsangan" dinamika kehidupan masyarakat kolektivanya menjadi suatu kehidupan tersendiri sehingga tari menjadi hidup kerena jiwa penonton yang hidup. Keindahan ini milik bersama, dibangun bersama dan atas kesepakatan bersama maka memiliki muatan simbolik yang bertolak dari norma-norma kehidupan masyarakat Jawa keraton.
Demikian sekilas tentang tari klasik gaya Surakarta yang bisa penulis penulis sampaikan, penulis menyadari masih banyak kekurangannya maka dari itu saran dan tabah yang penulis harapkan. Trimakasih.

Daftar Pustaka
Aart Van Zoest. 1993.Semiotik. Alih bahasa Ani Soekowati. Tentang Tanda, Carakerja dan Apa yang kita lakukan Dengannya. Penerbit Yayasan Sumber Agung Jakarta.
Blumer, Herbert.1972. Simbolik Interaction.dalam Culture and Cognition: Rules, maps, and Plans. San Fransisco, Chaudler PC.
Brandon, R. Jemes.l983.Seni Pertunjukan di Asia Tenggara diterjemakan oleh Prof.Dr.R.M.Soedarsono. Isl Yogyakarta.
Hadikusumo. 1985. Filsafat Ke Jawen Unkapan Lambang Ilmu Gaib Dalam Seni Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba. Penerbit Yudhagama Corporation.
Jonhn M.Echols dan Hasan Shadily 1995 Kamus inggris Indonesia PT. Gramedia Jakarta
Jennifer Linsay,Klasik,Klasik, dan Kontemporer, Gadjah Mada University Press,, Yogyakarta, 1991.
Royce ,Anya Peterson 1977 "Simbol dan Gaya " dalam buku The antropology of Dance. Indiana University Prees London.
Soedarsono.1973. Tari-tarian Indonesia1, Proyek pengembangan Media Kebudayan Depdikbud, Jakarta.
Wadjiz Anwar, L.Ph, 1985. Filsafat Estetika. Penerbit Nur Yogyakarta.
Winfried Noth.1985. Handbook Of Semiotics. Indiana University Prees Bloomington and Idianapolis.

Nara Sumber
1. KRT. S.Maridi Tondokusuma, empu tari Kasunann Surakarta
2. Ng. Suciati. Empu tari Kasunanan Surakarta

3. www.j-harmonia.com