Monday, February 21

Reog Ponorogo

Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan “sindiran” kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai “Singa Barong”, raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya. Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan ‘kerasukan’ saat mementaskan tariannya.

Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.

Pementasan Seni Reog

Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.

Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,

Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.

Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

Kontroversi

Tarian Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan. Deskripsi akan tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak, yang merupakan asli buatan pengrajin Ponorogo. Permasalahan lainnya yang timbul adalah ketika ditarikan, pada reog ini ditempelkan tulisan “Malaysia” dan diaku menjadi warisan Melayu dari Batu Pahat Johor dan Selangor Malaysia – dan hal ini sedang diteliti lebih lanjut oleh pemerintah Indonesia. Hal ini memicu protes dari berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang berkata bahwa hak cipta kesenian Reog dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Ribuan Seniman Reog pun menggelar demo di depan Kedutaan Malaysia. Berlawanan dengan foto yang dicantumkan di situs kebudayaan, dimana dadak merak dari versi Reog Ponorogo ditarikan dengan tulisan “Malaysia”, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain pada akhir November 2007 kemudian menyatakan bahwa “Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut “barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor karena dibawa oleh rakyat Jawa yang merantau ke negeri jiran tersebut.

sumber

Wednesday, February 16

Tari Golek Gambyong

Komposisi tari tunggal puteri gaya Yogyakarta yang lazim ditarikan oleh seorang gadis remaja. Tari ini bersumber pada tari klana Alus yang mulai berkembang sejak akhir abad ke 19. Golek menggambarkan seorang gadis remaja yang sedang suka bersolek seperti berbedak, mengenakan hiasan ,berdandan, berkaca, dan sebagainya. Di Yogyakarta dahulu tari golek ditarikan oleh seorang pemuda remaja berpawakan kecil dan berparas cantik.

Jenis tarian yang lahir di lingkungan istana ini mempergunakan acuan gerak tari”ledek” yang kerakyatan, tergarap dan terangkat penuh stilasi yang Shopisticated. Hal ini tampak jelas pada penamaan beksa ”golek lambang sari ” . Varian lain dalam golek bersusulan antara lain adalah golek ”asmaradhana”, sulung dayung dan sebagainya yang pola geraknya mengikuti gendhing-gendhing iringannya yang sekaligus menjadi namanya.

Tari golek sebagai satu-satunya tari putri yang berfungsi sebagai tari tontonan, pada awalnya menjadi sattu-satunya tari tunggal puteri. Pada awal kemunculannya, keberadaan tari ini selalu dikaitkan dengan opera tari ”langendriya”. Tari ini dipertunjukkan pada akhir langendriya dan tari golek berdiri sendiri, tidak saling terkait. Kata golek dalam bahasa jawa berarti mencari. Mencari dalam konteks tari golek adalah mencari jati diri atau kepribadian pelaku tari ( penari). Walaupun tari golek sebagai tari tunggal, tetapi sering disajikan secara kelompok. Tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam pengembangan tari Golek antara lain: K.R.T Purbaningrat, K.R.T Cakraningrat, dan K.R.T. Purwanegara. Selanjutnya banyak sekali pakar-pakar tari yang mulai menciptakan tari Golek, antara lain :GBPH Puger, RM Dinusatama dan KRT. Sasmintadipura ( Rama Sas).

Tari Golek yang dicipta di kemudian hari tidak ada satupun yang terkait dengan langendriya . Semuanya merupakan tari tunggal yang berdiri sendiri, hanya saja ada penyempitan waktu. Jika pada awalnya durasi tari Golek kira-kira satu sampai satu setengah jam, kemudian dipadatkan hanya sepuluh sampai dua puluh menit, bahkan lima atau tiga menit. Golek Gambyong . Tari salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta dan merupakan satu-satunya tari golek yang berbentuk kelompok. Tari golek yang lain merupakan tari tunggal. Tari Golek Gambyong dicipta KGPA Mangkubumi, dan dibawakan oleh tiga orang penari, yang mempunyai peran sendiri-sendiri. Peran-peran itu adalah satu peran putri sebagai Golek, dua peran putra masing-masing menjadi kakang gambyong dan canthang balung. Khusus tari ini, belum pernah ditarikan oleh penari wanita. Para penari golek gambyong semua remaja putra. Pria menari tari putri, biasanya dipilih yang masih remaja dengan postur kecil atau sedang, serta mempunyai otot tangan halus.

Tari golek gambyong mempunyai banyak keunikan, diantaranya :

- Ada peran canthang balung, yang sebenarnya bukan milik budaya Yogyakarta, karena sebenarnya yang mempunyai canthang balung adalah Kraton Kasunanan Sukarta.

- Adanya peran putri yang disebut golek, karena sebenarnya golek sendiri merupakan tari tunggal putri. Dalam tari Golek Gambyong, golek menjadi bagian dari tari.

Secara umum pengertian gambyong adalah sebuah tarian tunggal yang ada di Surakarta. Namun dalam tari gaya Yogyakarta Gambyong adalah nama salah satu peran yang ada dalam tari Golek Gambyong. Gambyong adalah suami Golek yang dalam tarian ini menggambarkan seorang suami yang tidak bertanggung jawab dalam menghidupi isteri, serta suka bermalas-malasan. Peran Gambyong mempergunakan gerak gecul (gerakan yang bernuansa komikal). Gambyong merupakan gambaran orang yang ingin hidup enak tetapi tidak mau bekerja, kesukaannya hanya bersenang-senang. Busana yang dikenakan adalah : celana cindhen dengan model panji-panji, kain batik motif parang dengan model sapit urang, sabuk bara dengan kamus dan timang, berbaju beludru tanpa lengan, sampun gendalagiri, ikat kepala dengan destar yang bermodal nyinting asu nguyuh, kalung tanggalan, kelat bahu model ngangrangan, keris model gayaman, memakai kerincing(giring-giring) di kakinya.

Peran golek menggambarkan seorang wanita yang sudah bersuami. Makna dari kata golek berarti mencari. Jadi makna dari peran itu adalah pencarian tentang sesuatu. Peran golek dalam tari Golek Gambyong mempunyai makna agar para penonton mencari inti dari tari itu sendiri( jadi tidak hanya khusus pada peran golek). Secara keseluruhan struktur gerak peran golek sama dengan tari golek lain, yang dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : bagian awal atau maju beksan, bagian tengah atau inti beksan, dan bagian akhir atau mundur beksan. Busana yang dikenakan cenderung lebih tertutup, karena model kain yang dipakai dipergunakan memakai seredan dan bagian atas memakai baju . Serta memakai jamang elar( ikat kepala yang diberi hiasan dari bulu menthog)

Canthang balung merupakan tokoh antagonis dalam tari Golek Gambyong. Ia digambarkan sebagai tokoh yang unik. Keunikannya terlihat pada properti yang dibawanya yaitu tombak, tameng, pedang, keris, senapan,dan gada. Di dalam tari ini canthang balung berusaha mendekati serta mengambil golek. Usaha ini tidak pernah berhasil karena golek selalu mengelak dan tidak menanggapi. Disamping itu Gambyong sebagai suami golek selalu menghalangi-halangi. Ragam gerak yang dipakai canthang balung adalah gerak gecul.Kostum yang dipergunakan adalah : celana model panji-panji, kain batik dengan model sapit urang, sabuk, bara dan kamus timang, baju dengan lengan panjang, hiasan kepala berbentuk topi dengan model pacul gowang, kalung tanggalan, buntal,oren,keris dengan model gayaman, berkaos kaki, dan memakai giring-giring.

Secara sepintas tari Golek Gambyong merupakan gambaran adannya suatu perselisihan. Pada awal penciptaan dan perkembangannya, di dalam Kraton sedang terjadi intrik politik yang terkenal dengan nama pergolakan terjadi antara Sultan Hamengku Buwana VII dan P. Suryengalaga, dan pihak ketiga yaitu Belanda.


sumber: Tari Golek

Tuesday, February 15

Tari Kuda Lumping

Kebudayaan Indonesia yang telah ada sejak zaman dahulu kala bukan hanya dari sudut pandang kebudayaannya, tetapi juga dari sisi medis, psikologi, dan masalah sosial yang tampak.

Kuda Lumping adalah kesenian rakyat Jawa. Akhir-akhir ini kebudayaan Kuda Lumping kembali terdengar namanya di kalangan masyarakat sejak beberapa waktu lalu diakui oleh masyarakat Johor, Malaysia sebagai miliknya selain kesenian Reog Ponorogo.

Menurut sejarah, kesenian Kuda Lumping lahir sebagai simbolisasi bahwa rakyat juga memiliki kemampuan (kedigdayaan) dalam menghadapi musuh ataupun melawan kekuatan elite kerajaan yang memiliki bala tentara. Di samping, juga sebagai media menghadirkan hiburan yang murah-meriah namun fenomenal kepada rakyat banyak.

Kuda Lumping adalah kesenian tari yang menggunakan kuda bohong-bohongan terbuat dari anyaman bambu serta diiringi oleh musik gamelan seperti: gong, kenong, kendang, dan slompret mampu membuat para penonton terkesima oleh setiap atraksi-atraksi penunggang (penari) Kuda Lumping. Hebatnya, penari Kuda Lumping tradisional yang asli umumnya diperankan oleh anak putri yang berpakaian lelaki bak prajurit kerajaan. Saat ini, pemain kuda lumping lebih banyak dilakoni oleh anak lelaki. Bunyi sebuah pecutan (cambuk) besar yang sengaja dikenakan para pemain kesenian ini, menjadi awal permainan dan masuknya kekuatan mistis yang bisa menghilangkan kesadaran si pemain. Dengan menaiki kuda dari anyaman bambu tersebut, penunggang kuda yang pergelangan kakinya diberi kerincingan ini pun mulai berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat hingga berguling-guling di tanah. Selain melompat-lompat, penari Kuda Lumping pun melakukan atraksi lainnya, seperti memakan beling dan mengupas sabut kelapa dengan giginya. Beling (kaca) yang dimakan adalah bohlam lampu yang biasa sebagai penerang rumah. Lahapnya ia memakan beling seperti layaknya orang kelaparan, tidak meringis kesakitan dan tidak ada darah pada saat ia menyantap beling-beling tersebut.

Jika dilihat dari keseluruhan permainan Kuda Lumping, bunyi pecutan yang tiada henti mendominasi rangkaian atraksi yang ditampilkan. Agaknya, setiap pecutan yang dilakukan oleh si penunggang terhadap dirinya sendiri, yang mengenai kaki atau bagian tubuhnya yang lain, akan memberikan efek magis. Artinya, ketika lecutan anyaman rotan panjang diayunkan dan mengenai kaki dan tubuhnya, si penari kuda lumping akan merasa semakin kuat, semakin perkasa, semakin digdaya. Umumnya, dalam kondisi itu, ia akan semakin liar dan kuasa melakukan hal-hal muskil dan tidak masuk diakal sehat manusia normal.

Semburan api yang keluar dari mulut para pemain lainnya diawali dengan menampung bensin di dalam mulut mereka lalu disemburkan pada sebuah api yang menyala pada setangkai besi kecil yang ujungnya dibuat sedemikian rupa agar api tidak mati sebelum dan sesudah bensin itu disemburkan dari mulutnya. Pada permainan Kuda Lumping, makna lain yang terkandung adalah warna. Adapun warna yang sangat dominan pada permaian ini yaitu; merah, putih dan hitam. Warna merah melambangkan sebuah keberanian serta semangat. Warna putih melambangkan kesucian yang ada didalam hati juga pikiran yang dapat mereflesikan semua panca indera sehingga dapat dijadikan sebagai panutan warna hitam.

Sebagai sebuah atraksi penuh mistis dan berbahaya, tarian kuda lumping dilakukan di bawah pengawasan seorang ”pimpinan supranatural”. Biasanya, pimpinan ini adalah seorang yang memiliki ilmu gaib yang tinggi yang dapat mengembalikan sang penari kembali ke kesadaran seperti sedia kala. Dia juga bertanggung jawab terhadap jalannya atraksi, serta menyembuhkan sakit yang dialami oleh pemain Kuda Lumping jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan dan menimbulkan sakit atau luka pada si penari. Namun, jika dilihat dari sudut pandang psikologi, orang yang melakukan proses seperti di atas dikenal dengan sebutan medium. Orang tersebut hanya menjadi sarana dari sesosok jiwa yang lain, dalam menyampaikan sesuatu (jiwa yang lain itu sering dianggap arwah, yakni jiwa orang yang sudah meninggal). Terkait dengan medium adalah kondisi trans, yakni keadaan di mana seseorang mengalami disosiasi dan kehilangan kesadaran terhadap lingkungan sekitarnya serta melakukan berbagai gerak otomatis. Dalam kasus di atas, terjadi pada pemain yang dirasuki arwah.

Namun, perlu disadari benda-benda tajam yang masuk ke dalam rongga pencernaan bisa menimbulkan luka yang dalam istilah medis dikenal dengan istilah trauma tembus abdomen. Usus merupakan organ yang paling sering terkena pada luka tembus abdomen, sebab usus mengisi sebagian besar rongga abdomen. Bila perforasi terjadi di bagian atas, misalnya di daerah lambung, maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat. Sedangkan bila bagian bawah, seperti kolon, mula-mula tidak terdapat gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.

Masalah sosial yang harus kita waspadai bahwa Indonesia masih terus dijajah hingga sekarang dengan masuknya kebudayaan asing yang mencoba menyingkirkan kebudayaan-kebudayaan lokal. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa mempunyai kewajiban mengembalikan kebudayaan yang sejak dahulu ada dan jangan sampai punah ditelan zaman modern ini. Pemerintah dan masyarakat diharapkan agar secara terus-menerus menelusuri kembali kebudayaan apa yang hingga saat ini hampir tidak terdengar lagi, untuk kemudian dikembangkan dan dilestarikan kembali nilai-nilai kebudayaan Indonesia.


sumber: Kuda Lumping

SEKILAS TENTANG TARI KLASIK GAYA SURAKARTA


Oleh: Sriyadi
Staf Pengajar Jurusan Tari STSI Serakarta

Abstrak
Tari klasik gaya Surakarta memiliki karakter yang khas, tari klasik semula meniru gerak alam semesta dan pertanda seperti mbanyu mili (sesuai dengan letak arah mengalirnya), posisi gerak tari seperti tanjak ndoran tinangi, angranakung, singkal, mager timun. Pada susunan kembangan sekaran) tari terdapat nama ngranggeh lung, merak kesimpir, gajah ngoling, menthokan, mucang kanginan, banteng nggambul. ombak banyu, ngalap sari. Berbagai gerak alam di stilir menjadi ragam gerak tari yang dilakukan oleh tubuh. Dasar gerak tari klasik gaya Surakarta berpegang pada dua aspek yaitu adeg dan solah. Untuk mencapai tingkat gerak yang berkualitas (estetik) diperlukan suatu metode latihan tari yang efektif, di dalam istilah tari gaya Surakarta disebut Rantaya yang meliputi pola dasar adeg, pola dasar lumaksana, susunan kembangan atau sekaran. Filosofi tari klasik gaya Surakarta adalan menggunakan konsep Dewa Raja Jejer, sedang mitosnya adalah kiblat papat lima pancer.

Kata Kunci: Klasik, Ragam gerak, Filosofi, Mitologi

A. Pendahuluan
Tari Klasik gaya Surakarta merupakan tari Istana yang telah lama sejak jaman kerajaan Majapahit. Istilah klasik berasal dari kata latin classici, nama golongan masyarakat tingkat tinggi pada jaman Romawi kuno (Soedarsono, 1990; 6). Dalam Bahasa Belanda diterjemahkan secara umum klasik berarti bagus sekali atau dari kelas tinggi (Singgih, dalam kamus Indonesia Belanda. 1989: 40). Kata klasik dalam masyarakat

Jawa sering digunakan untuk menyebut kesenian istana Jawa, sering disebut seni klasik...
Kata klasik menunjukkan pengertian bukan saja sifat tua melainkan sifat mapan dari bentuk-bentuk kesenian yang sudah mencapai bentuk ideal. Kata klasik dalam masyarakat Jawa juga diidentikkan dengan kata adiluhung. Adiluhung berasal dari kata adi yang berarti bagus, utama indah, dan kata luhung yang berarti agung, hebat. Kata adiluhung sering digunakan untuk menggambarkan bentuk-bentuk kesenian tradisional dari kranton Jawa (Linsay, 1991: 46). Berdasarkan tiga pengertian kata klasik maka dikenal tari klasik yaitu untuk menyebut khususnya produk tari istana Surakarta yang diciptakan dan di pergelarkan menurut aturan-aturan yang telah ditetapkan. Aturan bersifat mengikat dengan secermat-cermatnya menentukan bagian masing-masing dalam gerak serasi dengan alunan iringan gamelan Jawa yang berlaras slendra dan pelog. Tari produk Istana dilakukon dengan aturan-aturan tertentu yang ketat dalam menggerakkan bagian-bagian anggota tubuh.
Tari Klasik yang kemudian muncul berkembang menjadi tari klasik yang mengandung sifat tertentu dan kemudian disebut gaya. Diantara gaya yang ada, gaya Surakarta, gaya Yogyakarta relatif terkenal dibandingkan dengan gaya-gaya daerah lain. Gaya Surakarta sendiri terdapat dua kelompok gaya yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Diantara tari klasik gaya Surakarta yang terkenal yaitu Tari Bedhaya Ketawang, Tari Srimpi, Tari Wireng. Untuk tari Bedhaya Ketawang sampai sekarang dianggap tarian sakral.
Tari Bedhaya Ketawang dahulu ditarikan oleh sembilan wanita sekarang dapat ditarikan oleh tujuh penari wanita. Dalam penampilan Tari Bedhaya para penari harus bersih secara fisik maupun mentalnya. Sebagai contoh jika salah seorang penari sedang mengalami mens dia harus berhenti dan diganti oleh penari yang lain. Tari Bedhaya Ketawang ini hanya di lakukan/ ditarikan pada hari dan bulan tertentu, misalnya bulan Syuro hari anggorokasih. dalam kalender Jawa muncul tiap 35 hari, dan juga pada saat Jumenengan Raja. Masalahnya adalah bagaimana dasar dari gerak tari, ragam gerak, filosofi dan mitologi tari klasik gaya Surakarta. Selanjutnya menjadi kafa kunci yang harus dijelaskan.


B. Dasar-dasar Gerak Tari Klasik Gaya Surakarta.

1.Rantaya
Dasar gerak tari klasik gaya Surakarta terbagi dalam dua bagian, yaitu solah dan adeg. Dasar solah dibagi menjadi empat tingkatan, yang biasa disebut Rantaya. Rantaya adalah pola dasar menari Jawa gaya Surakarta.

Rantaya I : Pola dasar Adeg.
Pola gerak dari bagian yang paling kecil adalah tanjak, ingsetan,kengseran dan gerak sendi. Tanjak adalah pola dasar gerak berdiri dalam tari klasik, ingsetan adalah pola dasar gerak berdiri yang digunakan untuk peratihan gerak yang menggunakan tumpuan gerak kaki, gerak tersebut disertai gerak bagian-bagian tubuh lainnya secara bersamaan. Sendi adalah pola susunan gerak tari untuk peralihan. Pola-pola ini digunakan untuk mendasari calon penari, agar paha dan boyok penari menjadi kuat (2002:32).

Rantaya II: Pola Dasar Lumaksana
Lumaksana artinya berjalan. Rantaya II berisi pola dan ragam berjalan. Rantaya II ini digunakan untuk melatih penari yang sudah menguasai dasar tanjak yang benar dan ini merupakan kelanjutan dari rantaya I yang sederhana menuju yang lebih rumit. Latihan rantaya II untuk melatih keseimbangan dan cara meletakkan posisi tubuh yang benar bagi penari agar gerak yang dikehendaki bisa tercapai dengan baik, dan agar lintasan terutama lintasan kaki atau tungkai menjadi kuat dan keseimbanganya bagus, sehingga didalam menampilkan gerak yang dikehendaki menjadi bagus (2002:57).

Rantoyo III: Susunan Kembangan atau Sekaran
Kembangan atau sekaran artinya bunga. Sekaran artinya bunga-bung yaitu rangkaian gerak kecil-kecil menjadi suatu susunan (vokabuler), biasanya satu sekaran terdiri dari tiga kali susunan gerak berulang, lalu satu ragam penutup dan disambung dengan gerak-gerak berikutnya (2002: 78)
Gerak sekaran selalu dimulai dan diakhiri dengan sendi yang berfungsi sebagai engsel, sekat atau penghubung. Contohnya gerak sabetan, gerak besut, untuk tari alus dan gagah sedang untuk tari putri seperti sindet, sabetan, srisig juga sebagai gerak penghubung.

Rantaya IV : Beksan Ragam
Beksan ragam artinya suatu kumpulan sekaran yang dibentuk menjadi satu tarian sehingga menjadi bentuk susunan tari yang serasi, juga ada peran tokoh-tokohnya, tetapi yang penting dalam hal ini adalah merupakan kumpulan sekaran-sekaran yang ditata secara urut dan runtut terutama yang berkaitan dengan 'seleh" gerak pada musik tari (karawitan). Tari berupa beksan ragam tersebut misalnya beksan Wira Pratama, Langen Mandra Asmara, Gambyong, dan sebagainya.
Wira pratama dan Mandra asmara terdiri dari empat penari wanita berbeda-beda karakternya. Gambyong digunakan untuk melatih ragam-ragam kibar dan ciblonan karena ragam kibar dan ciblonan dipakai dalam beberapa jenis susunan tari khususnya dalam tari Jawa. Contohnya seperti tari Gambiranom, tari Minak Koncar, tari Karonsih, tari Gatutkaca gandrung.

2. Sikap Dasar Adeg
Sikap dasar adeg adalah cara atau pedoman untuk menentukan posisi tubuh dan cara menggerakkan sekmen-sekmen anggota tubuh agar leluasa dan enak untuk melakukan gerak dalam tari. Mestinya adeg ini dibicarakan sebelum rantaya, berhubungan dengan adeg ini hanya dapat dilakukan apabila si penari menguasai gerakan, maka adeg dibicarakan setelah rantaya.
Sikap dasar adeg tari kraton Kasunanan Surakarta terdiri dari 6 titik daya yaitu dlamakan, boyok (cetik ), buthung, pundak kiri kanan.dan cengel (kepala bagian belakang). Sikap adeg tari Mangkunegaran juga terdiri dari enam titik daya yang meliputi: dlamakan, puser, jaja, entong-entong kiri kanan, dan bathuk. Bagi Kasunanan titik kunci daya terdapat pada tubuh bagian belakang, sedangkan di Mangkunegaran titik daya terletak pada tubuh bagian depan. Bagi penari sikap adeg gaya Kasunanan dan Manakunegaran sekalipun menggunakan gerak yang sama tetapi melahirkan ekpresi gerak yang berbeda. Bagi tari di Kasunanan titik kendalinya terdapat pada boyok atau cethik, tepatnya terletak pada tulang belakang pada ruas ke-4 dari bawah. Titik ini dalam istilah yoga disebut titik kundalini. sedangkan sikap adeg di Mangkunegaran puser adalah kendali dari titik-titik yang lain dan bathuk sebagai pemancarnya, yaitu di antara kedua alis untuk memancarkan daya tersebut.
Sikap adeg pola berdiri (tanjak) dalam tari Jawa adalah posisi kaki merenggang dan dibuka, lutut dibuka, tungkai merendah (mendhak/ mendhek), dada dibuka, pantat ditarik keatas (buka ke belakang) dagu ditarik ke belakang ibu jari kaki ke atas, jari tangan nyekiting, dada mungal. Sikap ini melahirkan tubuh yang ditenggalkan, yang akan melahirkan gaya.
Perbedaan pola dasar berdiri dan sikap bergerak antara Kasunanan dan Mangkunegaran, karena bentuk dadanya yang berpengaruh pada pola dasar berdiri yaitu tungkai sebagai tumpuan segaris dengan ula-ula, yang ditarik tegak dari bawah ke atas ini untuk Kasunanan sedangkan untuk Mangkunegaran garis tubuh pada posisi tungkak kaki sebagai tumpuan garis dengan badan yang ditarik garis ke atas pada posisi miring. Oleh sebab itu ruang gerak tari di Kasunanan Surakarta lebih sempit dibandingkan ruang gerak dari Mangkunegaran. Oleh karenanya dapat menimbulkan kesan bahwa tari Kasunanan Surakarta terasa lebih lembut dan berwibawa, sedangkan tari di Mangkunegaran gerak terasa lebih cakrak.

3. Solah Tari Jawa gaya Surakarta.
Solah artinya pelaksanaan gerak, bahwa dalam konsep tari Jawa gerak tidak selalu diartikan sebagai peralihan dari posisi satu menuju posisi yang lain, tetap; diam pada posisi menari juga termasuk gerak. Dalam konsep tari Jawa dikenal gerak yang kasat mata dan gerak yang tan kasat mata tetapi jukup jelas untuk dirasakan. Gerak yang ada didalam tubuh secara alami sekalipun tan kasat mata (tidak tampak) juga diperhitungkan, misalnya gerak jatung, aliran darah, paru-paru dan pernapasan juga menimbulkan efek gerak yang tak kelihatan.
Konsep dasar solah pada tari Jawa adalah meniru gerak air yang mengalir atau disebut mbanyu mili. Mbanyu mili artinya gerak air yang sedang mengalir, jadi geraknya tidak putus-putus (patah-patah). Ada beberapa kategori gerak air sesuai letak dan keadaannya misalnya air bengawan kondisinya waktu banjir airnya besar, air pegunungan kondisinya gemericik, air dalam jun (gentong) yang tenang, dan air laut yang menerjang batu karang di pantai menimbulkan benturan yang dahsyat.
Dari beberapa konsep itu kemudian digambarkan dalam tiga bagian inti yaitu midak, nujah, dan nggandul. Hal ini sangat berkaitan dengan karakter (wanda) den peristiwa dalam lakon yang dimainkan. Midak adalah peleksanaan seleh gerak sejajar dengan seleh dong-dhing pada musik, karawitan. Nujah ialah peleksanaan gerak tari dimana seleh gerak mendahuluhi seleh irama karawitan, sehingga kasan yang ditimbulkan kelihatan tergesa-gesa (kemrungsung). Gerak terakhir adalah nggandul yaitu seleh gerak di belakang atau setelah seleh pada irama karawitan (setelah gong berbunyi). Bila penari tidak tepat meletakan seleh nggandul akan terkesan nglawer atau terlambat.
Solah didalam pelaksanan gerak tari Jawa menggunakan teknik-teknik gerak yang rumit, detail dengan posisi garis lengkung-lengkung. Hal ini dipengaruhi oleh konsep-konsep India yang selalu menggunakan garis lengkurg-lengkung. Misalnya seperti gerak modra, gerak tangan ngrayung, gerak tangan ngiting dan lain sebagainya.

C. Ragam Gerak dan Simbolisme Dalam Tari Jawa Surakarta
1. Gerak
Ragam gerak tari Jawa gaya Surakarta cenderung berorentasi pada alam dan pertanian baik nama posisi gerak tari maupun nama sekaran misalnya posisi tanjak ndorantinangi, anmgranangkung dan singkal mager timun. Pada sekaran tari ada nama-nama nggrageh lung, merak kasimpir, gajah ngoling, menthokan, mucang kanginan, manteng gambol, ombak banyu, ngalap sari, dan sebagainya. Beberapa gerak alam yang disetilir menjadi ragam ada yang sifatnya gerak alam yang diambil esensinya, misalnya: mucang kanginan, dan merak kasimpir.
Sekalipun bentuknya adalah peniruan terhadap alam tetapi yang lebih penting, penari harus mengerti dan mampu menafsirkan esensi dari benda-benda alam tersebut lalu ditranformasikan dalam bentuk ragam gerak tari, lalu dihidukan dalam dirinya menjadi greget yang menimbulkan rangsangan magnit pada penonton (K.R.T. Tondokusumo S. Maridi, wawancara 12 januari 2002 ). Bila penari tidak mengenali sifat-sifat gerak atau esensi benda alami tersebut penari akan kesulitan memberi muatan nilai estetis yang sesuai dengan tututan tradisi dalam tari Jawa gaya surakarta pada umumnya.
2. Gandar dan Karakter
Gandar ialah dedeg-piadeg penari atau postur tubuh penari sesuai dengan wanda peran atau perwatakan peran tari Jawa yang akan dibawakan. Gandar dalam tari Jawa berorentasi pada wanda wayang purwa misalnya: putri luruh, contohnya wayang Sembadra, Sinta, putri alus layap contohnya Srikadhi, Mustakaweni, Larassati, Putra alus luruh, Harjuna, Abimanyu, putra alus lanyap seperti Kresna, Samba, Adipatikarna, dan lain sebagainya.
Gandar selain dilihat dari idealisme tubuh penari (mungguh), juga diperhitungkan guwaya dan pasemonnya. Istilah dalam tari Jawa duwe urup (punya api) yang hidup sekalipun tidak dalam saat menari. Gandar adalah ukuran ideal berdasarkan tokoh wayang purwa yang digunakan untuk menentukan dapukan atau pilihan jenis spesialisasi tari yang akan dipelajari atau yang akan di bawakan. Seperti; badan langsing kulit bersih (kuning) tidak suka tertawa, akan lebih tepat menjadi Harjuna, badan langsing kulit bersih dan lincah pandai berbicara ia akan lebih tepat bila dijadikan Srikandhi, badan kekar tinggi besar orangnya lincah dan suka berkelakar akan lebih tepat penari jenis agal prengesan seperti Burisrawa, Dursasana.
Tari Jawa dibagi dalam tiga karakter pokok yaitu putri, putra alus/halus, dan putra agal /gagah. Karakter putri dibagi dalam tiga wilayah yaitu putri luruh (Sembadra, Sinta ) putri lanyap (Srikandhi, Larassati, Mustakaweni), dan putri dagel seperti Raseksi, Cangik). Karakter alus dibagi empat bagian yaitu alus luruh (Harjuna, Rama, Abimanyu) alus lanyap ( Samba, Karana, Kresna ), alus dagel (Lasmana Mandra Kumara), dan alus mandya taya. Madya taya mestinya berdiri sendiri tetapi dalam karakterisi dimasukan dalam kelompok alus (Duryudana- Salya, Mahesa Wongateleng).
Putra agal/gagah dibagi dalam beberapa bagian yaitu gagah antep, gagah ampang, dan bapangan. Gagah antep dibagi dua yaitu kalang-kinantang seperti (Gatutkaca, Dasamuka) dan kambengan antep seperti (Bima., Antarja, Setiyaki), gagah ampang dibagi dua yaitu bapang kasatriyan biasa untuk raksasa satria (Cakil) dan raksasa kecil (Buta glundung) dan bapang jeglong digunakan untuk karakter raksasa besar yang tidak menggunakan jungkir balik seperti Kumbakarna, Newatakawaca. Selain tiga karakter pokok masih ada karakter tambahan seperti Dewa, Panakawan dan Setanan. Karakter tersebut diatas disesuaikan dengan wanda para wayang purwa.
Jenis tari Gaya Surakarta terdiri dari beberapc jenis tarian misalnya seperti tari: Golek, Gambyongan, Gandrungan, Pasihan, Wireng, Srimpi, Bedaya, Beksan (tari tunggal), dan garapan (sendratari langendriyan, wayang wong dan wayang topeng). Golek termasuk jenis tari untuk tari anak-anak atau pemula. Gambyong jenis tari remaja dan menjadi dasar gerak tari suka ria. Gandrungan jenis tari percintaan tunggal seperti Gatutkaca Gandrung, Pasihan jenis percintaan berpasangan seperti karonsih dan enggar-enggar. Wireng jenis tarian perangan atau kesatiyaan seperti Bugis Kembar, watang, srimpi dan Bedaya merupakan jenis khusus tari kraton.

3. Simbolisme dalam tari Jawa
Tari Jawa Gaya Surakarta merupakan salah satu bentuk budaya yang bersumber dari kraton yang di latar belakangi oleh konsep kenegaraan Dewa Raja. Bila ditilik lebih dalam, pelaksanaan perjalanan tari-tari Kraton penuh dengan simbol-simbol, dari wujud kelengkapan, sesaji, tempat pergelaran, gerak tari, hingga jumlah penarinya. Kesemuanya berkaitan atau memiliki makna simbol. Menurut Van Peursen tentang simbol mengatakan:

Simbol bagi manusia merupakan pengejawantahan dari belajar manusia. Dengan simbol-simbol manusia dapat menemukan arah perbuatannya dan memberikan keterangan-keterangan tentang pergetahuan dunia. Proses belajar manusia dilakukan melalui bahasa, dalam arti luas bahasa adalah alat komunikasi yang bersifat arbriter/mana suka atau segala bentuk lambang seperti kata, gambar, isyarat, gerak atau tari-tarian (Peursen. 1976...)

Ahli filsafat, Ernst Cassirer, mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum, binatang yang mengenal simbol. Secara biologis manusia termasuk jenis binatang menyusui (mamalia), meskipun demikian manusia berbeda dengan binatang karena kemampuannya melakukan simbolisasi. Manusia adalah makhluk yang mampu menggunakan, mengembangkan, menciptakan, lambang-lambang untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Melalui lambang-lambang pula manusia menanggapi lingkungannya (Ahimsa, 2002:2). Kebudayaan Jawa banyak mengenal simbol-simbol yang diwujudkan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah melalui seni tari. Pada jaman Hindu tari-tarian yang ada dipercaya sebagai ciptaan dewa yaitu dewa Shiva. Pengaruh ini sangat besar dalam kehidupan seni di kraton-kraton Jawa, mulai dari perangkat peribadatan sampai pada tari klasiknya (Sedyawati, 1997:163).
Salah satu contohnya adalah Tari Bedaya yang hidup di lingkungan kraton mempunyai beberapa fungsi yang penting terkait dengan upacara kebesaran raja, upacara penobatan raja dan upacara resmi kerajaan. Tari Bedaya dianggap memiliki nilai sakral, gaib dan dianggap sebagai pusaka kerajaan yang adhi luhung. Tari Bedaya di lingkungan kraton sifatnya tertutup, artinya bahwa tari Bedaya hanya bisa dipergelarkan di lingkungan kreton dan hanya untuk kepentingan-kepentingan kraton, pengertian ini mengandung maksud bahwa dengan nilai simbolik (sakral) tari bedaya tidak boleh di pentaskdn atau di pelajari oleh masyarakat umum di luar kraton.

D. Dasar Filosofi dan Mitologi Tari Jawa Surakarta.
Para empu tari Kasunanan seperti K.R.T. Tondokusumo sering menyebutkan "Tari Jawa iku Raja Dewa jejer, utawa Ratu jejer (Tari Jawa itu Raja Dewa sifatnya, atau Raja diwisuda atau raja duduk di singgasana). Raja Dewa artinya raja yang berperan sebagai Dewa yang memiliki sifat wingit (angker). Sedangkan Ratu jejer memiliki sifat agung berwibawa. Jadi tari Jawa itu harus memiliki ekpresi wingit atau agung berwibawa. Hal ini mendasari greget ekpresi yang hendak disajikan dalam berbagai jenis karakter tari.
Mitos yang menjadi dasar estetikik tari Jawa gaya Surakarta adalah Kiblat papat lima pancer yaitu segara kidul- parangtritis/ pantai selatan, (di selatan) eyang Merapi (di barat), Batari uma (di utara ), dan eyang lawu (di timur) dan tengahnya adalah kraton Surakarta. Oleh sebab itu sesaji tari terutama bedaya srimpi dan watangan srimataya (Palguna-palgurwidi dan harjuna Sasarabahu lawan Sumantri) selau ditujukan pada arah kiblat tersebut. Dari kiblat ini lalu direfleksikan dalam bentuk gawang prapatan, dan gawang tengah sebagai poros atau sumber yang berperan sebagai pancer (Mulyatno, wawancara 14-8-2003)
Mitos lain yang menojol adalah kedudukan Kanjeng Ratu Kidul atau Ratu Kencana Sari, yaitu sebagai ratu penguasa segara kidul (laut selatan) dan ratu penguasa segala "air mengalir" yaitu menuju dan berada di laut. Oleh sebab itu selatan menjadi posisi yang sangat kuat, bahkan di Mangkunegaran pendapanya menghadap ke selatan, penari kalau menari juga menghadap keselatan pula sehingga penari membelakangi Singgasana raja dan istana. Sebab kekuatan supranatural berada di sebelah selatan Ratu selatan diyakini sebagai Ratu penguasa segala air dan penguasa tari di Jawa "mbanyumili" maka sesaji dan laku penari diadakan persembahan padanya di pantai Parangkusuma. Bahkan raja Paku Buwana membuat panggung sangga buwana, salah satu fungsinya untuk berkomunikasi dengan Ratu kidul ini dilakukan sebelum tari ketawang dipentaskan.

E. Kesimpulan
Kaidah tari klasik Jawa gaya Surakarta terletak pada dua nilai yaitu nilai estetis dan nilai simbolis. Secara estetis posisi merendah dan bagian-bagian tubuh yang ditarik seperti jari kaki ke atas, jari nyleketing, dagu ditarik dan menepati aturan adeg, maka akan menimbulkan suatu "tegangan" atau getaran dalam tubuh penari yang akhirnya menimbulkan "daya" ekspresi. gerak-gerak lengkung mengaliri mbayu mili yang disetilir dari kenyataan alami memberikan rangsangan estetis, yang menjadikan penonton mengembangkan interpretasi, bermacam-macam. Muatan nilai simbolik yang menjadi "rangsangan” dinamika kehidupan masyarakat kolektifnya menjadi suatu kehidupan tersendiri sehingga tari menjadi hidup karena jiwa penonton yang hidup. Keindahan ini milik bersama, dibangun bersama dan atas kesepakatan bersama maka memiliki muatan simbolik yang bertolak dari norma-nonna kehidupan masyarakat Jawa kraton.
Hakekat Tari Jawa Surakarta adalah sebuah upacara ritual berdasarkan saling kait mengkait antara dasar adeg, dasar gerak dan keharusan menggunakan teknik tertentu dalam ikatan mitos tertentu, menurut pendapat penulis bahwa tari jawa gaya Surakarta adalah suatu upacara yang menggunakan seni tari sebagai medianya. Oleh sebab itu menarikan tari Jawa harus mengikuti aturan-aturan khusus yang berlaku. Berhubungan tari tersebut "upacara" maka perlu yang dikenai kewajiban-kewajiban atau keharusan-keharusan mengikuti masyrakat komunitasnya. Dalam hal ini komunitas keratonlah pemilik "upacara" tersebut. Sedangkan bagi masyarakat di luar keraton upacara tersebut berfungsi sebagai suatu kegiatan kesenian yang menitik beratkan pada hiburan bagi masyarakat.
Yang menjadi persoalan sekarang ialah bagaimana komunitas tari kraton tersebut setia terhadap keharusan dan kewajiban-kewajiban setelah SMKI dan STSI dan juga Taman Budaya juga menunjukan eksistensinya dengan menggunakan meteri yang sama tetapi orentasinya berbeda.
Dengan demikian hakekat tari klasik gaya surakarta adalah sebuah cara persembahan, pemujaan dan meditasi. Sedangkan fungsi tari jawa bagi masyarakat umum adalah sebuah hiburan atau tontonan. Letak keindahan tari Jawa gaya Surakarta terletak pada dua aspek nilai yaitu nilai estetis dan nilai simbolis. Secara estetis posisi merendah dan bagian-bagian tubuh yang ditarik seperti jari kaki ke atas, jari nyleketing, dagu ditarik akan menepati aturan adeg, maka akan menimbulkan suatu "tegangan" atau getaran dalam tubuh penari yang akhirnya menimbulkan "daya" ekspresi. Gerak-gerak lengkung mengalir mbanyu mili yang disetilir dari kenyataan alami memberikan rangsangan, yang menjadikan penonton mengembangkan interpretasi bermacam-mcam. Muatan nilai simbolis yang menjadi "rangsangan" dinamika kehidupan masyarakat kolektivanya menjadi suatu kehidupan tersendiri sehingga tari menjadi hidup kerena jiwa penonton yang hidup. Keindahan ini milik bersama, dibangun bersama dan atas kesepakatan bersama maka memiliki muatan simbolik yang bertolak dari norma-norma kehidupan masyarakat Jawa keraton.
Demikian sekilas tentang tari klasik gaya Surakarta yang bisa penulis penulis sampaikan, penulis menyadari masih banyak kekurangannya maka dari itu saran dan tabah yang penulis harapkan. Trimakasih.

Daftar Pustaka
Aart Van Zoest. 1993.Semiotik. Alih bahasa Ani Soekowati. Tentang Tanda, Carakerja dan Apa yang kita lakukan Dengannya. Penerbit Yayasan Sumber Agung Jakarta.
Blumer, Herbert.1972. Simbolik Interaction.dalam Culture and Cognition: Rules, maps, and Plans. San Fransisco, Chaudler PC.
Brandon, R. Jemes.l983.Seni Pertunjukan di Asia Tenggara diterjemakan oleh Prof.Dr.R.M.Soedarsono. Isl Yogyakarta.
Hadikusumo. 1985. Filsafat Ke Jawen Unkapan Lambang Ilmu Gaib Dalam Seni Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba. Penerbit Yudhagama Corporation.
Jonhn M.Echols dan Hasan Shadily 1995 Kamus inggris Indonesia PT. Gramedia Jakarta
Jennifer Linsay,Klasik,Klasik, dan Kontemporer, Gadjah Mada University Press,, Yogyakarta, 1991.
Royce ,Anya Peterson 1977 "Simbol dan Gaya " dalam buku The antropology of Dance. Indiana University Prees London.
Soedarsono.1973. Tari-tarian Indonesia1, Proyek pengembangan Media Kebudayan Depdikbud, Jakarta.
Wadjiz Anwar, L.Ph, 1985. Filsafat Estetika. Penerbit Nur Yogyakarta.
Winfried Noth.1985. Handbook Of Semiotics. Indiana University Prees Bloomington and Idianapolis.

Nara Sumber
1. KRT. S.Maridi Tondokusuma, empu tari Kasunann Surakarta
2. Ng. Suciati. Empu tari Kasunanan Surakarta

3. www.j-harmonia.com

Tari Beksan Lawung

Beksan Lawung adalah Tarian perang-perangan atau ulah yuda. Beksan Lawung merupakan salah satu beksan ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwana I. Beksan ini diilhami oleh keadaan waktu dimana ada kegiatan prajurit-prajurit sebagai abdi dalem raja selalu mengadakan latihan watangan, berlatih ketangkasan berkuda dengan membawa watang atau lawung, yaitu sebuah tongkat panjang kurang lebih 3 m berujung tumpul, dan silang menyodok untuk menjatuhkan lawan.

Dialog yang digunakan merupakan campuran dari bahasa Madura, bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Beksan ini oleh Sri Sultan dijadikan Beksan ceremonial yang sangat terhormat, bahkan menjadi wakil pribadi dan Sri Sultan pada resepsi perkawinan agung pada hari pertama di Kepatihan dimana menurut istidadat Jawa. Sri Sultan tidak boleh menghadirinya. Beksan ini lengkapnya terdiri 40 orang penari dan dibagi dalam 3 beksan yaitu: Lawung Ageng untuk gagahan dengan 16 orang penari, beksan sekar medura dengan 8 penari gagah dan alus: ke 3 beksan ini apabila dipentaskan lengkap akan memakan waktu 5 jam dengan iringan gamelan khusus yaitu Kiai Guntur Sri dengan suaranya yang antep mengalun selama pagelaran ini berlangsung para penari disamping sisi kiri kanan gamelan dilarang istirahat

Tari pria bersenjatakan lawung (tombak) pada umumnya dibawakan oleh 16 orang penari putera,dan beksan putra ini termasuk dalam tari upacara. Dahulu biasa dipergelarkan untuk merayakan resepsi perkawinan putra-putri sultan di kepatihan . Beksan lawung dipakai sebagai wakil raja dalam upacara pernikahan tersebut. Karena suatu hal yang tabu serta menghilangkan kewibawaan raja apila raja sampai hadir di kepatihan yang tingkat derajatnya berada di bawah raja. Karena beksan lawung dianggap sebagai wakil raja, maka tidak boleh dipentaskan di sembarang tempat.

Dalam perjalanan dari Kraton ke kepatihan para penari beksan lawung mengendarai kuda denag dipayungi sonsong gilap kebesaran dikawal oleh prajurit wirabraja dan diringi gamelan Kia Guntur Sari yang sepanjang jalan dibunyikan dengan melagukan gending –gendhing sabrangan. Beksa lawung secara lengkap terdiri dari 3 bagian yaitu (1)Beksa lawung alit (2) Beksa lawung ageng atau beksan lawung gagah atau beksa trunajaya( lihat Beksa Trunajaya), dan (3) Beksa Sekar Medura.

Beksa lawung diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana I yang memerintah dari tahun 1755-1792. Beksa ini merupakan usaha dari
Sultan untuk mengalihkan perhatian Belanda terhadap kegiatan prajurit Kraton Yogyakarta. Karena pada masa itu dalam suasana perang, sultan harus mengakui dan tunduk segala kekuasaan Belanda di Kasultanan Yogyakarta. Ia harus patuh pada segala perintah maupun peraturan yang telah ditentukan, termasuk olah keprajuritan. latihan keprajuritan dengan menggunakan senjata di larang oleh Belanda.

Oleh karena itu sultan mengalihkan olah keprajuritan ke dalam bentuk beksan yaitu beksan lawung. Melalui beksa lawung ini sultan berusaha untuk membangkitkan sifat kepahlawanan prajurit Kraton pada masa perang tersebut.
Beksa lawung menunjukkan semangat dan keberanian melalui gerakan-gerakan tari. Oleh karena itu tema dalam Kraton khususnya Beksa Lawung kebanyakan bertema kepahlawanan. Beksa berisi sindiran-sindiran halus sebagai ungkapan rasa tidak senang sultan terhadap pembesar-pembesar Belanda di Kraton Yogyakarta.

Selain itu, Beksa Lawung diangkat sebagai tari ritual wakil sultan dalam upacara perkawinan putra dan putrinya, bukan semata-mata sebagai wakil yang wadang tetapi juga wakil kawruh urip yang harus dicerna oleh kedua mempelai lewat keseluruhan pagelaran. Hakekat pesan ini secara transparan diutarakan lewat lewat lagon diawal pertunjukan Beksa Lawung sebagi petuah sultan tentang perkawinan yang diakhiri dengan simbol kesuburan .

Dalam Beksa lawung disimbolkan dengan tongkat atau lawung, dan perempuan dilambangkan dengan tanah. Tanah sebagai bumi sering disebut ’ ibu pertiwi ’, lambang keperempuan.
Dalam latihan Beksa lawung diberikan kepada prajurit-prajurit peleton/ pasukan Trunajaya sehingga Beksa Lawung atau Beksa Trunajaya itu berubah menjadi Beksa lawung ageng dikarenakan hadir Beksa lawung alit dan Beksa Sekar Madura sebagai bvagian dari beksa lawung secara keseluruhan. Sebagai akibat orang seringkali menyebut Beksa lawung diidentikkan dengan Beksa lawung ageng.

Pada tahun 1918 berdiri perkumpulan Kridha Beksa Wirama, sehingga Beksa lawung boleh dipergelarkan dan diajarkan kepada orang lain di luar Kraton atas izin Sultan Hamengku Buwana VII. Sejak itulah kesenian istana, khususnya Beksa Lawung, makin banyak diminati dan maju pesat. Perkembangan selanjutnya Beksa Lawung dipentaskan untuk para wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri, sehingga terjadi pemadatan waktu pentasnya.

Sunday, February 13

19 Tari Klasik Gaya Yogyakarta dari Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa

Beksan Serimpi Pandelori sajian Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa (YPBSM) nDalem Pujokusuman dalam Pentas Rutin Tari Klasik Gaya Yogyakarta di Keraton Kasultanan Yogyakarta (Bangsal Srimanganti, Minggu, 21 Pebruari 2010).

Dalam lembar panduan yang diterbitkan Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa (YPBSM), ada 19 tarian klasik gaya Yogyakarta yang secara bergilir disajikan dalam pementasan rutin di Dalem Pujokusuman, Yogyakarta. 2 atau 3 dari ke-19 tarian lepas ini menjadi sajian pembuka menjelang dipentaskannya Sendratari Klasik Ramayana (Gaya Yogyakarta). Sendratari ini secara rutin dipentaskan 2 kali seminggu, setiap hari Selasa dan Jum’at. Untuk dicatat, pasca terjadinya bencana Gempa Bumi di Jogjakarta pada tanggal 27 Mei 2006, pementasan tersebut sempat terhenti karena rusaknya pendopo dan Dalem Pujokusuman yang menjadi arena pementasannya.
Ke-19 tari klasik tersebut adalah:
Golek: Tarian ini menampilkan daya tarik dan keindahan seorang perempuan yang mempercantik diri.
Sekar Pudyastuti: Tarian ini merupakan tarian penyambutan yang khusus dan juga menampilkan gerakan tarian gaya perempuan Yogyakarta yang anggun.
Golek Retno Adaninggar: Ditampilkan dengan gaya Golek Menak yang diadaptasi dari wayang golek. Tarian Solo ini menggambarkan masa ketika putri China, Retno Adaninggar menyadari penangkapan orang-orang yang dikasihi oleh musuhnya. Mulai dari itu dia bersiap-siap untuk ikut ke medan pertempuran.
Topeng Putri Kenakawulan: Tari topeng ini diadaptasi dari kisah Panji pada abad ke-15 dan menggambarkan putri Kenakawulan yang jatuh cinta dengan Carangwaspa.
Klono Alus Jungkungmandeya: Tarian ini diadaptasi dari kisah Mahabarata yang menggambarkan pangeran muda Jungkungmandeya yang jatuh cinta dengan istrinya tercinta Srikandi. Tarian ini merupakan contoh yang bagus untuk tari gaya alus.
Klono Gagah Dasawasisa: Tarian ini diadaptasi dari kisah Mahabarata dan menggambarkan Raja Dasawasisa yang sedang dimabuk cinta pada Wara Sumbadra.
Topeng Klono Alus: Tari topeng ini diadaptasi dari cerita Panji abad ke-15 dan menggambarkan pangeran muda Gunungsari yang sangat jatuh cinta dengan Ragil Kuning.
Topeng Klana Gagah: Tari topeng ini diadaptasi dari cerita Panji abad ke-15 dan menggambarkan Raja Sewandana yang sedang dimabuk cinta pada Candrakirana.

Beksan Topeng Gunungsari-Surawasesa sajian Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa (YPBSM) nDalem Pujokusuman dalam Pentas Rutin Tari Klasik Gaya Yogyakarta di Keraton Kasultanan Yogyakarta (Bangsal Srimanganti, Minggu, 21 Pebruari 2010).
Jaka Tarub – Nawangwulan: Pada suatu hari anak muda yang bernama Jaka Tarub berburu burung dan melihat bidadari cantik turun dari khayangan mandi di danau di hutan. Dia bersembunyi dan mengintip bidadari Nawangwulan dan jatuh cinta. Ketika Nawangwulan sedang mandi Jaka Tarub mencuri pakaiannya. Dia kembali ke tempat persembunyiannya dan membuat keonaran untuk menakuti Nawangwulan. Tetapi Nawangwulan tidak bisa menemukan pakaiannya dan tidak bisa kembali ke khayangan. Merasa sedih dan kesepian dia menangis. Jaka tarub mengembalikan pakaiannya dan memeri nama Nawangwulan. Cerita ini merupakan bagian dari legenda rakyat.
Retna Dumilah – Panembahan Senopati: Pada abad ke 7 di Jawa, Panembahan Senopati Kerajaan Mataram berperang. Tarian ini berdasar pada suatu peperangan. Raja Madiun yang kalah memberi anak perempuannya Retno Dumilah sebuah keris ampuh untuk membunuh Senopati. Retno Dumilah hampir melaksanakan tugasnya sampai ketika dia menghunus kerisnya. Senopati tidak melawan menggunakan senjata. Dia mendekati Retno Dumilah dengan penuh perasaan. Hal ini mematahkan kekuatan keris Retno Dumilah dan dia menjadi istri Senopati.
Srikandi – Larasati: Selama masa menjelang pernikahannya dengan Arjuna dia setuju untuk melakukan kontes untuk membuktikan kekuatannya. Larasati menantangnya dan dalam kekalahannya Srikandi memaksanya untuk menikah dengan Arjuna.
Srikandi – Suradewati: Karena termakan gosip Srikandi menjadi cemburu pada putri Suradewati dan menantangnya bertanding. Suradewati kalah dan Srikandi menang.
Sirtupilaeli – Sudarawerti: Dalam pertempuran untuk memutuskan siapa yang akan menikah dengan Menak kedua ksatria perempuan ini kalah ataupun menang keduanya akan menjadi istrinya Menak.
Rengganis – Widaninggar: Putri China Widaninggar mau membalas dendam atas kematian saudaranya yang mati dalam pertempuran memperebutkan cinta Menak. Tetapi Widaninggar dikalahkan oleh saudara ipar pembunuh saudaranya yaitu Rengganis.
Umarmaya – Umarmadi: Raja Umarmadi pertama harus mengalahkan Kepala penasehat Umarmaya sebelum dia dapat mengalahkan Menak. Umarmadi kalah tetapi kemudian dia dan Umarmaya menjadi teman yang baik.
Beksan Senggana – Saksadewa: Tarian ini merupakan bagian dari Ramayana yang disebut “Senggana Duta”. Sri Rama memberi Senggana, monyet putih tugas untuk mencari istri Rama, Dewi Sinta. Senggana menemukan Sinta dan agar bertemu dengan Rahwana dia menghancurkan Argasaka. Raksasa Saksadewa anak Rahwana menjadi marah dan ingin menangkap Senggana tetapi terbunuh selama pertempuran.
Beksan Gathutkaca – Pregiwa: Menggambarkan bagian dari kisah Mahabharata. Gathutkaca mengungkapkan pada Pregiwa bahwa dia jatuh cinta padanya. Pregiwa menerima cintanya dan berjanji untuk setia sehidup semati.
Beksan Carangwaspa – Kenakawulan: Cerita ini diambil dari cerita Panji. Dewi Kenakawulan dari Manggada ingin menguji kekuatan Raden Panji Carangwaspa. Jika dapat mengalahkannya dia akan menjadi istrinya.
Beksa Umarmaya – Jayengpati: Tarian ini merupakan bagian dari cerita Menak. Prabu Jayengpati Raja dari Tunjungyaban telah mencuri pusaka “Sonsong Tunggalnaga” dari pemiliknya Wong Agung Jayengrana. Adipati Umarmaya dari negeri Puserbumi mencoba untuk merebut pusaka dan mengembalikan pada Wong Agung Jayengrana. Dia berhasil melakukannya dengan mengalahkan Prabu Jayengpati Raja.

Sumber: Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa (YPBSM), Yogyakarta.

Thursday, February 10

SARON

Istilah umum untuk instrumen - instrumen berbentuk bilahan dengan enam atau tujuh bilah (satu oktaf atau satu oktaf dan satu nada) ditumpangkan pada bingkai kayu yang juga berfungsi sebagai resonator.
Instrumen mi ditabuh dengan tabuh dibuat dari kayu atau tanduk (yang akhir ini untuk peking).
Menurut ukuran dan fungsinya, terdapat tiga jenis saran:
- demung,
- saron barung, dan
- saron panerus atau peking.












DEMUNG
Saron berukuran besar dan beroktaf tengah.
Demung memainkan balungan gendhing dalam wilayahnya yang terbatas.
Pada teknik pinjalan, dua demung dan slenthem membentuk lagu jalin-menjalin.
Umumnya, satu perangkat gamelan mempunyai satu atau dua demung.
Tetapi ada gamelan di kraton yang mempunyai lebih dari dua demung.SARON











BARUNG
Saron berukuran sedang dan beroktaf tinggi.
Seperti demung, saron barung memainkan balungan dalam wilayahnya yang terbatas.
Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, dua saron barung memainkan lagu jalin menjalin yang bertempo cepat. Seperangkat gamelan mempunyai satu atau dua saran barung, tetapi ada gamelan yang mempunyai lebih dan dua saron barung.
Suatu perangkat gamelan bisa mempunyai saron wayangan yang berbilah sembilan. Sebagaimana namanya menunjukkan, saron ini dimainkan khususnya untuk ansambel mengiringi pertunjukan wayang.












SARON PANERUS (PEKING)
Saron yang paling kecil dan beroktaf paling tinggi.
Saron panerus atau peking ini memainkan tabuhan rangkap dua atau rangkap empat lagu balungan.
Lagu peking juga berusaha menguraikan lagu balungan dalam konteks lagu gendhing.


sumber: http://ki-demang.com